LogoDIGINATION LOGO

Apakah IPO untuk Startup Masih Worth It?

author Oleh Aulia Annaisabiru Ermadi Sabtu, 6 Oktober 2018 | 16:25 WIB
Share
Ilustrasi IPO (Shutterstock)
Share

Bagi startupgo public bisa menjadi pilihan mendapatkan dana untuk memperluas ekspansi bisnis. Seperti yang dilakukan oleh PT Yelooo Integra Datanet atau Passpod, perusahaan rental modem untuk perjalanan ke luar negeri ini telah mengumumkan akan go public dengan mengeluarkan 130 juta lembar sahamnya pada akhir 2018 ini.

Sebelumnya, PT Kioson Komersial Indonesia Tbk atau Kioson, perusahaan teknologi penyedia jasa Online to Offline (O2O) sudah terlebih dahulu melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tercatat pada tahun 2017, laba bersih yang diterima mencapai Rp 2.938 miliar.

Tak selalu cerita manis tentang IPO (Initial Public Offering), Snap Inc, perusahaan teknologi  dan kamera asal Amerika yang memulai debut pasar saham pada Maret 2017, setahun terakhir gagal memenuhi ekspektasi pertumbuhan nilai saham. Kisah sama dialami oleh Blue Apron, perusahaan yang bergerak di bidang pangan, yang harus merumahkan ratusan karyawannya setelah beberapa bulan go public pada bulan Juni 2018i.

Menurut survei  Roni Michaely, profesor dari Cornell University mengatakan bahwa setelah satu tahun IPO, setengah dari perusahaan tersebut akan mengalami penurunan nilai saham hingga dibawah harga penawaran. 

Baca juga:Setelah Sukses IPO, Kioson Catatkan Laba Penjualan

Lalu apakah IPO masih worth it?

Dilansir melalui MoneyCNN.com, John Nesheim seorang profesor entrepreneurship di SC Johnson College of Business of Cornell University sekaligus penulis buku ''High Tech Start Up" mengatakan bahwa startup go public memiliki daya pikat. Selain mendapat kemudahan dalam mengakses modal murah, startup yang memutuskan untuk go public kredibilitasnya akan naik di mata publik. 

Tetapi go public bukanlah suatu hal mudah melainkan suatu proses kompleks, banyak intrik didalamnya. Timing harus benar-benar diperhatikan. Nyatanya banyak startup yang memutuskan go public sebelum berhasil menghasilkan keuntungan, dan hanya berbekal keyakinan akan profit. Akhirnya tidak mencapai ekspektasi.

Baca juga:Strategi Jitu Mengemudikan Startup Menuju IPO

Ilustrasi IPO (Shutterstock)

 

Go public bukan satu-satunya pilihan

Akuisisi bisa menjadi pilihan lain. Seperti yang dilakukan beberapa perusahaan obat besar yang memilih untuk mengakusisi startup-startup yang bergerak dibidang penelitian untuk membantu mengembangkan bisnisnya. Sama-sama diuntungkan, startup tersebut dapat dengan mudah menembus IPO melalui saham perusahaan besar yang akuisisinya. 

Cerita lain dari Google yang lebih memilih untuk melelang sahamnya untuk menghindari ketidakstabilan saham di IPO.

Lain dengan Google, Sportify mengambil jalan lain yang tidak konvensional yaitu dengan menjual sahamnya langsung kepada investor.

Baca juga:IPO Disebut ‘Exit Strategy’ Paling Efektif untuk Startup

Opsi lainnya adalah Initial Coin Offerings, yang merupakan opsi baru dan lebih berisiko. Initial Coin Offerings mengunakan token yang diperdagangkan pada pertukaran mata uang kripto.

Dan tentu saja, menjadi private memiliki kelebihan juga daripada harus go public. Seperti yang dilakukan Mars Inc, perusahaan pembuat permen dan berbagai produk makanan asal Amerika, yang tetap memilih menjadi private untuk menghindari pengawasan publik yang berlebihan.

Lalu mana yang lebih baik private atau go public?

Faktanya, meski penuh risiko banyak startup sukses dengan go public. Tetapi menjadi private juga bukan ide yang buruk. Misalnya risiko penumpukan biaya likuiditas saham yang harus ditanggung ketika memutuskan untuk go public. Lain dengan startup private, yang harus pintar-pintar mengelola modal ventura teratas untuk membiayai bisnisnya. 

Menjadi go public atau private memiliki konsekuensi masing-masing. Jadi mana yang kamu pilih?

Baca juga:Rudiantara Enggan Beberkan Unicorn yang Niat IPO

  • Editor: Wicak Hidayat
  • Sumber: MoneyCNN.com
TAGS
RECOMMENDATION
LATEST ARTICLE