LogoDIGINATION LOGO

Hoax dan Lompatan Internet Orang Indonesia

author Oleh Apni Jaya Putra Kamis, 24 Agustus 2017 | 02:09 WIB
Share
Mike Walsh, pembicara megatrend dalam satu seminar di Liverpool, yang kebetulan saya ikuti, menceritakan anomali orang Indonesia di dunia digital
Share

Mike Walsh, pembicara megatrend dalam satu seminar di Liverpool, yang kebetulan saya ikuti, menceritakan anomali orang Indonesia di dunia digital.

Salah satunya adalah 80 persen pengguna Facebook di Indonesia sebelumnya tidak mengenal atau belum pernah menggunakan email.

Itu sama dengan lompatan budaya membaca ke budaya televisi yang juga dialami orang Indonesia. Budaya membaca mengedepankan faktor dialektika. Orang tak cukup membaca satu sumber. Ia harus membaca semua sumber. Sebab mereka paham tak ada monopoli kebenaran.

Belum mapan di budaya baca, kita lompat ke budaya televisi. Akhirnya lahirlah generasi "instan". Televisi mengajarkan "hasil" bukan "proses". Itulah yang suka atau tidak suka kita tiru sekarang.

Lalu kita masuk budaya internet. Dipahami atau tidak, semua orang lalu tergulung ke digital wave. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan ada 132,7 juta orang Indonesia yang telah terhubung ke internet pada 2016. Dikutip dari Kompas.com, angka pengguna aktif bulanan Facebook mencapai angka 88 juta di Indonesia pada kuartal kedua 2016

Dengan literasi media dan internet yang tak cukup baik, terjadilah perubahan cara mengkonsumsi media dan perubahan perilaku media itu sendiri. Media konvensional yang dulu jadi sumber utama informasi lalu berubah menjadi follower isu yang digemakan media sosial. Media sosial sendiri berjalan dan berkembang tanpa saringan apalagi bercerita soal etika.

Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia. Washington Post melaporkan perang sosial media berupa hoax terburuk justru terjadi pada era pilpres Trumph versus Ny. Clinton. Gerakan anti PM Najib di Malaysia bersuara pada medium medium sosial media. Literasi media soal konsep "realitas media" hanya pelajaran di kampus dan tak cukup berguna di era media digital saat ini.

Kampanye internet sehat kalah gaung dengan keasyikan jari jemari melakukan share terhadap berita-berita yang tingkat akurasinya tak meyakinkan. Masyarakat menerima tsunami informasi (information overload). Jika tak pandai menitih buih, memang alamat menyesakkan dan menyesatkan.

Susahnya ketika arus balik mencari kebenaran informasi itu terjadi, menu informasi arus utama juga tak berpihak kepada konsumen media konvesional. Kooptasi media oleh dua kekuatan yakni ekonomi dan politik juga membuat konsumen media alergi pada sumber berita arus utama. Tak ada media mainstream yang benar benar steril saat ini.

Saya pribadi sendiri akhirnya kembali ke teori komunikasi kuno: tatap muka. Bentengnya ada di keluarga.

Lisan dan laku baik adalah benda yang mahal saat ini. Saya nggak mau melalui medsos anak anak kita belajar membenci. Sekarang benci itu sudah menjadi industri kreatif. Ada yang berkreasi di situ.

Tawuran, konflik sosial, terorisme, dan perang, dimulai dari penanaman ideologi kebencian. Teroris pemula tak diajarkan membuat bom, dia diajarkan membenci. Sosmed pada kondisi kegaduhan politik di mana pun menjadi battle field. Bibit kebencian disemai dan kita tinggal menuai badai. Destruktif dan masif sekali dampaknya.

Kembali ke Mike Walsh, berarti masih ada 20 persen orang yang menggunakan Facebook secara bijak. Masih ada harapan. Dari pada mengutuk gelap baiklah kita menyalakan lilin. Mari kita jaga benteng terakhir kita, keluarga!

  • Editor: Edi Taslim
LATEST ARTICLE