LogoDIGINATION LOGO

Kenapa Startup Unicorn Indonesia Ogah Go Public?

author Oleh Desy Yuliastuti Jumat, 2 Maret 2018 | 06:16 WIB
Share
Sejumlah startup unicorn Indonesia terus didesak segera melantai di bursa saham melalui Initial Public Offering (IPO)
Share

Sejumlah startup unicorn Indonesia terus didesak segera melantai di bursa saham melalui Initial Public Offering (IPO). Istilah ‘Unicorn’ merujuk pada startup dengan valuasi mencapai 1 miliar dollar AS atau setara Rp 14,2 triliun.

Adapun aturan yang berlaku saat ini, startup yang ingin Go Public harus bisa membukukan keuntungan 2 tahun setelah IPO, memiliki Aktiva Berwujud Bersih atau Net Tangible Asset (NTA), dan kapitalisasi pasar. Khusus untuk NTA, perusahaan dengan NTA minimal Rp5 miliar sudah bisa listing di papan pengembangan sedangkan untuk papan utama disyaratkan memiliki NTA sekurang-kurangnya Rp100 miliar.

Rentetetan prasyarat IPO tentu bukan hal sulit bagi Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Strategi Go Public sebenarnya bisa dipilih untuk meningkatkan kredibilitas perusahaan, terutama di mata investor. Lalu sebenarnya apa penyebab unicorn Indonesia masih enggan melantai di bursa?

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, mengatakan ia tak ingin keempat unicorn itu melantai di luar negeri. Oleh karenanya, pemerintah mencoba mengajak startup unicorn Indonesia berdialog untuk memahami keluhan dalam proses IPO. Pihaknya juga merasa perlu menjelaskan lebih detail soal perusahaan terbuka dengan mengajak serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Saya harus ketemu, apa yang menyebabkan Anda enggak mau IPO. Ayo kita bicarakan dengan pemerintah, ayo kita bicarakan dengan bursa, OJK, karena gimana pun OJK dan BEI juga harus memerhatikan kepentingan investor publik," ungkap Rudiantara, saat ditemui di Gedung BEI, Rabu (28/2/2018).

Startup Masih Galau ke Bursa Saham

-

Menurut Rudiantara, pasca-IPO memang ada kemungkinan investor berbentuk private equity ataupun Venture Capital (VC) akan menarik diri dari startup saat perusahaan itu Go Public. Sebab perusahaan wajib menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan mengalihkan kepada investor publik.

Namun, opsi melantai di bursa pun belum jadi favorit bagi unicorn, pasalnya pemodal privat terbukti membuat valuasi mereka membumbung tinggi. Keraguan IPO bisa jadi muncul karena takut valuasinya jeblok karena reaksi investor publik yang kritis.

“Jadi kita juga harus melihat bagaimana pasar akan mengapresiasi terhadap issuer atau emiten yang akan masuk. Ada orang merasa bahwa sekarang sebagai unicorn katakanlah valuasi saya sudah Rp100 tapi begitu dia mau masuk ke capital market, ternyata market hanya meng-apreciate Rp70, itu kan business judgement," kata dia.

Ditemui secara terpisah, Kepala Divisi (Kadiv) Privatisasi Startup, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dan Foreign Listing BEI, Saptono Adi Junarso, mengatakan faktor penghambat unicorn untuk IPO perlu dipikirkan solusinya. Namun, keputusan IPO lagi-lagi ada di tangan perusahaan.

“Itu sebenarnya terserah mereka, orang yang belum jadi unicorn aja bisa listing apalagi yang valuasinya satu miliar dollar. Tapi menurut saya tidak semua orang bisa seperti mereka (mudah mendapatkan pendanaan), jadi at the end kita lihat saja. Kalau yang lain tak bisa sehebat mereka mungkin Go Public bisa jadi pertimbangan,” ujar dia,

Hingga akhir 2017, tercatat baru dua startup yang IPO, yakni PT Kioson Komersial Indonesia (KIOS) dan PT M Cash Integrasi (MCI). KIOS resmi melantai di BEI pada 4 Oktober 2017, menyusul MCI pada 1 November 2017.

  • Editor: Wicak Hidayat
TAGS
LATEST ARTICLE