LogoDIGINATION LOGO

Selamat Datang TV Everywhere

author Oleh Apni Jaya Putra Jumat, 25 Agustus 2017 | 02:08 WIB
Share
Perhatikan apakah dalam 1 minggu, anak Anda masih duduk manis di depan TV menyaksikan acara kesayangannya? Kalau masih, berapa jam per minggu ia duduk di depan TV? Atau malah dalam seminggu sama sekali mereka tidak menonton televisi
Share

Perhatikan apakah dalam 1 minggu, anak Anda masih duduk manis di depan TV menyaksikan acara kesayangannya? Kalau masih, berapa jam per minggu ia duduk di depan TV? Atau malah dalam seminggu sama sekali mereka tidak menonton televisi.

Tidak usah khawatir, itu bukan gejala buruk, perubahan perilaku ini terjadi di dunia dalam lima tahun terakhir. Di negara-negara Asia terutama di Indonesia, menurut survey wearesocial.com, rata-rata menonton yang lima tahun lalu per minggu nya 20 jam per minggu kini hanya 10 jam seminggu.

Artinya waktu menonton TV efektif di rumah hanya rata-rata 1 jam per hari. Lalu ke mana perginya mereka? Secara signifikan terjadi peralihan medium layar, dari layar televisi ke layar smartphone dan layar desktop. Waktu di layar desktop menjadi 4 jam sehari dan di layar mobile menjadi 3,5 jam sehari.

Di dua layar yang berevolusi ini mereka melakukan semuanya, membaca, belanja dan menonton. Terbanyak memang menonton video, menurut survey Reuters (2017) 80 persen pengguna handphone menghasbiskan waktu untuk menonton video dari berbagai sumber. Terbanyak masih YouTube dan mulai bergeser ke Facebook.

Tanda tanda jaman itu telah tiba. Setelah menggilas media cetak dan memaksa media cetak bermigrasi digital, kini era digital itu akan melumat televisi linear. Cara televisi bersiaran terjadwal, pemberlakukan zona waktu prime time, early prime time, dan after prime time menjadi usang.

Penonton sudah tidak bisa dipaksa berada pada jam-jam yang ditentukan oleh stasiun TV. Mari kita lihat fakta, penonton American Got Talent lebih banyak di Facebook dan YouTube ketimbang di televisinya, walaupun yang dilihat hanya klip-klip tertentu. Video Nania & Ran, dua ABG kakak beradik asal Filipina yang berjoget mengiringi lagu Despacito telah ditonton sampai 56 juta kali di seluruh dunia.

Menjadi tidak relevan, ketika TV berebut bermain pada spektrum frekuensi yang terbatas. Pertumbuhan penetrasi internet 10 persen per tahun telah membuat lebih dari separoh penduduk Asia sekitar 2 miliar penduduk terhubung dengan internet. Dengan demikian, spektrum frekuensi yang mahal, channel devident dengan perijinan yang rumit sudah ditinggalkan karena begitu banyak tersedia free sharing platform untuk melakukan desiminasi konten.

Menurut HIS Markit, sebuah lembaga kajian teknologi, perubahan format siaran dari analog ke Digital Teresterial Televise (DTT) terutama ke siaran definisi tinggi (HD) telah menyelamatkan 40 % pangsa pasar statiun televisi di Amerika.

Kisah bagaimana industri penyiaran televisi di Amerika yang bisa bertahan karena perubahan format siaran teresterial digital akan jadi cerita lain di Indonesia. Migrasi yang sampai ini belum rampung, membuat kondisi industri penyiaran televisi di Indonesia akan semakin ditinggal penonton.

Laporan analis industry terkemuka, Media Partner Asia (MPA) pada 2016 juga memprediksi pelambatan bisnis industri TV berbayar (pay TV)di Hongkong, Indonesia, Malaysia dan Singapura. MPA yang sempat memprediksi pertumbuhan TV berbayar di kawasan ini sekitar 10% per tahun, kini memperkirakan hanya akan tumbuh 5,8 persen per tahun hingga tahun 2021 nanti.

Baik televisi digital free teresterial dan pay TV, kini mengemas ulang bisnis model dan menata pilihan platform ke pemirsa. Operator pay TV di Malaysia, ASTRO yang puluhan tahun bermain di satelit, kini menjual bundling dengan paket internet Maxis One, sister company mereka. HypTV milik Telkom Malaysia malah lebih berani untuk tidak "bermain" di satelit sama sekali, dan hanya bermain di broadband. Pola yang sama ditiru oleh Telkom Indonesia dengan menjual pay tv berbasis satelit Telkom Vision kepada grup Transcorp. Kini Telkom Indonesia bermain di broadband dengan brand IndiHome.

Industri pay TV dunia juga menata cara penyajian yang tadinya linear ke non linear setelah konvergensi antara content provider dan broadband operator tidak bisa dielakkan. Layanan non linear seperti VOD dan Subscription VOD menjadi penyelamat industrti pay TV.

Pertumbuhan kepemikan smartphone yang rata-rata mencapai 112% ditambah bentangan layanan jaringan 4G telah menguatkan keberadaan televisi non linear. Di layanan OTT kita sudah mengenal Hulu dan Netflix yang melakukan penetrasi serentak di seluruh dunia. Di Asia kita mengenai iFlix, Hooq, Viu dan lain lain.

Sementara konsep non linear yang kemudian memantapkan diri menjadi “TV Everywhere” membuat pemain lama di industri konten menambah layanan-layanan yang memungkinkan penonton menikmati siaran televisi di mana saja dan kapan saja. HBO Go, ESPN 360, Disney XD kini menjadi layanan tambahan di pay TV. Grup Lippo di Indonesia dalam hari hari ke depan akan meluncurkan TV everywhere pertama di Indonesia yang mereka sebut, FMX.

Operator pay TV di Indonesia yang terlambat mengantisipasi teknologi, sudah gulung tikar lebih awal. Beberapa tv berbayar yang dulu kita kenal, sudah menghentikan layanan. Pemain lama yang dulu merajai pasar pun cukup puas untuk hanya bisa bertahan.

Bagaimana dengan televisi berbasis free teresterial? Jika tak cepat ditolong pemerintah melalui regulasi DTT, maka mereka pun akan selesai jika tak inovatif.

DTT melalui layanan DTT Lite yang merupakan USB dongle sebenarnya memungkinkan penerimaan siaran digital melalui perangkat tablet dan smartphone. Masalahnya di Indonesia aturan free teresterial yang menggunakan spektrum frekuensi ditentukan roadmap-nya oleh pemerintah.

Ini yang membuat pemain di industri free-to-air TV sangat lamban dari sisi antisipasi teknologi. Survei Ericsson Indonesia seperti dikutip dari Kompas Tekno mengatakan layanan video streaming telah mencuri setengah jumlah penonton televisi free-to-air di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan nasib pemain industri free-to-air? Platform adalah satu hal, yang lebih pas saat ini melakukan konsolidasi bisnis dan fokus pada penguatan konten.

Pola pikir linear yang biasa dipakai para pemain free-to-air televisi harus bergeser pada paradigma non linear. Langkah-lagkah merger antara pemain teknologi dan pemain bisnis konten tak terelakkan.

Hari ini konvergensi itu keniscayaan. Perilaku konsumen media sudah berubah, perilaku media pun harus berubah, kalau tidak mau menggali lubang kubur sendiri.

Selamat Hari Televisi

  • Editor: Edi Taslim
LATEST ARTICLE