LogoDIGINATION LOGO

Sebelumnya JD.ID, Sekarang CoHive yang Siap Say Good Bye

author Oleh Nur Shinta Dewi Jumat, 3 Februari 2023 | 15:55 WIB
Share
Share

 

Kabar duka kembali hadir dari perusahaan rintisan. Jika kemarin kita mendengar JD.ID tutup, saat ini startup co-working space CoHive yang harus mengakhiri perjalanannya.

PT Evi Asia Tenggara, dengan merek dagang CoHive, startup penyedia ruang kerja berbagi (co-working space), resmi ditetapkan bangkrut alias pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 18 Januari 2023. 

CoHive harus mengakhiri layanan co-working space setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Padahal startup ini sempat ekspansi besar-besaran termasuk menguasai gedung 18 lantai di kawasan Mega Kuningan. 

"Menyatakan termohon PKPU [PT EVI ASIA TENGGARA] dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan ini diucapkan," tulis pengumuman pailit yang dikutip dari CNBC Indonesia.

Sebelum pailit CoHive dikenal sebagai tempat “nongkrong”nya anak-anak startup. Siapa sangka tempat kerja, meeting, ketemu client dan mencari relasi, kini harus gulung tikar. Berikut perjalanan dan alasan CoHive Pailit :

Baca juga : Kenapa JD.ID Resmi Tutup 31 Maret 2023? Padahal Produknya Ori Semua

Perjalanan CoHive

CoHive didirikan pada 2015 sebagai proyek internal perusahaan modal ventura East Ventures yang diberi nama EV Hive sebagai lokasi kerja bersama dan komunitas untuk perusahaan rintisan, baik portofolio mereka maupun bukan. EV Hive punya dua lokasi ruang kerja, yaitu di Jakarta Selatan dan BSD.

Pada 2017, proyek tersebut diambil alih oleh Jason Lee, Carlson Lau, dan Ethan Choi yang mengganti namanya menjadi Cocowork yang kemudian diganti lagi menjadi CoHive. Setelah beralih kepemilikan dan meraih pendanaan seri B antara lain dari Insignia Ventures, CoHive berubah fokus dan berekspansi secara agresif di banyak lokasi dan kota.

Pada 2019, startup ini mendapatkan suntikan pendanaan seri B US$ 13,5 juta atau sekitar Rp 192,7 miliar dengan kurs saat itu. 

Sejak beroperasi, perusahaan ini disebut telah mendapatkan investasi dari investor sebesar US$40 juta atau sekitar Rp600 miliar. Beberapa nama besar yang menjadi investor pada perusahaan ini seperti East Ventures, Softbank Ventures Asia milik Masayoshi Son, hingga H&CK. 

Baca juga : Tips Menghadapi Resesi 2023

Per Desember 2020, CoHive menyatakan mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas area mencapai 60.000 meter persegi di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. 

CoHive bahkan menguasai satu gedung di Mega Kuningan yang diberi nama CoHive 101. Diketahui gedung tersebut memiliki tinggi 18 lantai.

Strategi CoHive adalah menawarkan sewa jangka pendek ke penggunanya atas ruang yang mereka sewa dalam jangka panjang. Perusahaan juga berekspansi ke sektor selain co-working yaitu ritel, co-living, dan penyewaan ruang untuk event.

Pada akhir 2020, salah satu investor CoHive, Chris Angkasa kembali mengambil alih kendali sebagai CEO perusahaan. Namun, dalam laman Linkedin pribadinya Chris sudah tidak mencantumkan posisi CEO di CoHive.

Potensi Bisnis Working Space

Menurut Coworking Space Global Market Report 2022, memprediksi ukuran pasar industri coworking space global bertumbuh dari $13,60 miliar di 2021 menjadi $16,17 miliar di 2022 dengan CAGR 18,9%. Laporan tersebut juga menggarisbawahi, pertumbuhan bisnis ini sangat dipengaruhi dengan peningkatan jumlah startup, termasuk tren ruang kerja fleksibel di kalangan pekerja muda.

Faktanya, bisnis ini juga mengalami turbulensi saat dampak virus corona memuncak pada pertengahan 2020. 

Diperkirakan jumlah penurunan permintaan coworking space melebihi 50%, ditengarai kebijakan bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh para pegiat startup. Di era ini, kemudian muncul tren kerja hybrid memadukan remote working dan bekerja di kantor membuat para pekerja lebih fleksibel untuk menentukan tempat. Coworking space pun bukan menjadi pilihan tempat mereka bekerja.

Melihat kasus ini, kemungkinan besar CoHive terlalu ekspansif sehingga gagal mencapai unit ekonomi. Perubahan bisnis yang sangat cepat sulit dikendalikan, sehingga sulit melakukan perubahan disaat misi perusahaan sudah tidak sejalan dan bukan menjadi kebutuhan kebanyakan orang.

  • Editor: Nur Shinta Dewi
TAGS
LATEST ARTICLE