LogoDIGINATION LOGO

Ongkos Kirim Produk Besar dan Berat Masih Menjadi Problem? Ini Solusinya

author Oleh Nur Shinta Dewi Jumat, 27 November 2020 | 08:50 WIB
Share
Share

UMKM dituntut untuk Go Digital, strategi pemasaran juga selalu digiatkan, hal tersebut tentu baik untuk eksistensi produk, namun bagaimana nasib produk yang memiliki volume besar dan berat diatas 10kg untuk penjualan di e-Commerce?

Pendistribusian barang atau logistik menjadi penting seiring dengan digiatkan industri 4.0. Menurut Current State Of Indonesia’s Logistics Industry in 2019, Logistik di Indonesia mengalami peningkatan 17% volume distribusi logistik nasional antara 2016-2019, terutama disebabkan oleh distribusi end-to-end.

Sayangnya peningkatan distribusi end-to-end masih memerlukan penanganan yang baik. Indonesia Freight Logistics Maket Studi menyebut biaya logistik di Indonesia masih tinggi sekitar 25-30% dari PDB, hal tersebut menunjukkan masih ada ruang untuk perbaikan dengan menurunkan biaya menjadi kurang dari 5% dari PDB agar sejajar dengan negara-negara kawasan.

Hal ini diperkuat dengan data Kementerian Perhubungan, menurut data Kemenhub, biaya logistik di Indonesia sekitar 29% dari total PDB di 2018, lebih besar dibanding angka 24% di tahun 2016. Data Bank Dunia di tahun yang sama pun memperlihatkan, Indonesia ada di posisi ke-63 dari 160 negara untuk indeks performa logistik.

Permasalahan lain timbul pada produk yang memiliki volume besar dan berat seperti penjualan produk dengan partai besar. Di e-Commerce sendiri, biaya ongkos kirim menggunakan cargo minimal rata-rata Rp6000/kg, sedangkan kampanye gratis ongkos kirim kebanyakan e-commerce dan jasa pengiriman tidak terlalu banyak bagi produk dengan partai besar.

Lalu bagaimana pemerintah dan penyedia e-Commerce melihat ini?
Selama ini, pemecahan masalah untuk produk partai besar menggunakan consolidator seperti penggunaan kontainer parsial. Jadi seluruh produk dari berbagai perusahaan yang memiliki tujuan pengiriman yang sama akan dimasukan kedalam satu kontainer.

Permasalahannya, pada sistem ini pemilik usaha tidak bisa dengan tenang mengantarkan produknya langsung ke customer secara end-to-end.

I Made Dodi Narindra Anggota Komisi X DPR-RI dalam Bimtek Pemasaran Ekonomi Kreatif Senin, 23 November 2020, di hotel Santika Premiere BSD, Tangerang Selatan juga membenarkan, problem utama pada industri 4.0 adalah dari biaya logistik.

Tingkat efisiensi masih menempatkan logistik Indonesia jauh dibawah negara-negara ASEAN. Bahkan biaya angkut dari Padang ke Jakarta jauh lebih mahal, dibandingkan biaya angkut dari China ke Jakarta, ini memang problem logistik yang masih terus diupayakan solusinya.

“Biaya ekspor kita itu masih kalah, terutama jika masuk ke pasar platform digital. Cost of logistic ini memang menjadi PR yang masih terus dipikirkan dan belum memiliki solusi jika ingin memasarkan di pasar luar negeri,” kata I Made Dodi Narindra Anggota Komisi X DPR-RI.

Sebagai pemecahan masalah logistik, dalam Virtual Discussion Smart Logistics Indonesia ‘Logistics Talk’ Selasa, 24 November 2020, Dr. Cris Kuntadi Staf Ahli Menteri Perhubungan, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia mengungkapkan Kemenhub telah merubah paradigma pembangunan salah satunya perubahan dari APBN menjadi Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), serta adanya perubahan dari subsidi ke alokasi infrastruktur dalam memperbaharui perputaran biaya operasional.

Smart Logistic Indonesia juga mengajarkan konsep Smart Logistics sebagai upaya modernisasi cara kerja logistik dengan teknologi.

Pengertian Smart Logistics
Pada era industri 4.0 kecepatan dan kapasitas menjadi penentu daya saing, penerapan teknologi  informasi mutlak diperlukan untuk meraih keunggulan. Smart Logistics adalah pendistribusian dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Pada dasarnya, konsep Smart Logistics lahir dengan tujuan menekan biaya operasional dan pelayanan untuk konsumen tetap prima.

“Implementasi Smart Logistics membantu membentuk organisasi dan proses operasi yang lebih ramping, karena efisiensinya,” kata Albert Koto, O2O Senior Logistic Operation & Partnership Manager Bukalapak.

Smart Logistics memanfaatkan aliran data komponen-komponen penting dalam proses pengiriman barang, misalnya pengemasan, penyimpanan, dan distribusi/ transportasi, melalui kecanggihan teknologi seperti penggunaan Radio Frequency Identification (RFID), GPS, bahkan teknologi  Internet of Things, serta bantuan Cloud Computing sehingga lebih mudah diakses dan dianalisis.

Efisiensi Smart Logistics
Pada presentasinya, Albert Koto, O2O Senior Logistic Operation & Partnership Manager Bukalapak memaparkan efisiensi Smart Logistics sebagai inovasi logistik di Indonesia, berikut pemaparannya:

Menciptakan rasio biaya yang lebih baik
Pemahaman tentang bagaimana operasi berdampak pada biaya secara keseluruhan sangatlah penting. Data historis dan pemrosesan data lebih lanjut akan membantu mendukung inisiatif pengurangan biaya apa pun atau sekadar pemeriksaan kesehatan rasio biaya berkala.

Menghilangkan pemborosan selama proses operasi
Menuju operasi lean, diharapkan dapat menghasilkan hasil yang lebih besar dengan sumber daya yang lebih sedikit. Teknologi membantu mengidentifikasi pemborosan yang sedang berlangsung yang membebani operasi, termasuk waktu tunggu yang berlebihan.

Mempertahankan tingkat layanan yang baik terhadap pelanggan
Memuaskan pelanggan adalah hal terpenting yang harus dicapai. Menerapkan teknologi apa pun yang memberi ruang untuk lebih fokus melayani pelanggan pada detail operasi.

Pemerintah dan Penyedia e-Commerce selalu mengupayakan masalah logistic yang masih menjadi kendala di Indonesia, terutama untuk muatan produk partai besar ke platform marketplace untuk Go International. Pada akhirnya, Smart Logistics digadang menjadi jawaban atas tingginya biaya logistic selama ini. Penerapan dan penyempurnaannya masih diupayakan agar industri 4.0 berjalan dengan semestinya.

  • Editor: Rommy Rustami
TAGS
LATEST ARTICLE