Ya, Pebisnis Juga Perlu Jadi Pendongeng!

Oleh: Wicak Hidayat
Selasa, 11 Juni 2019 | 08:15 WIB
ilustrasi (Shutterstock)

Jaman sekarang adalah era attention deficit alias kurang perhatian bagi brand dan bisnis. Bukan karena tidak ada yang mau memperhatikan, tapi karena terlalu banyak yang bersaing berebut perhatian konsumen atau pelanggan. Mencari perhatian calon konsumen pun menjadi sangat sulit karena harus bersaing dengan stimulasi dari media sosial dan banjir konten online.

Nah, bagaimana caranya supaya bisnis bisa lebih bersaing di tengah keriuhan ini?

Content Marketing merupakan salah satu jawabannya. Dari pada hanya menampilkan jualan, jualan dan jualan, content marketing menghadirkan konten yang memang berguna dan relevan bagi calon pelanggan.

Setelah pelanggan merasakan manfaatnya, mereka pun diharapkan akan loyal pada brand yang memberikan manfaat tersebut. Walhasil, produk atau jasa yang ditawarkan brand atau bisnis tersebut juga bakal dilahap. 

Pengen dong mendapatkan loyalitas seperti itu?

Jangan tergiur dulu, menurut praktisi content marketing Jay Baer dari Convince & Convert, sekitar 80 persen konten yang diproduksi punya kecenderungan untuk gagal.

Bayangkan, sudah susah-susah membuat konten, apalagi konten video, tapi tidak ada yang melihat. Boro-boro menghasilkan lead atau revenue, ditonton aja nggak!

Jadi bagaimana dong?

Kelihaian Mendongeng

Dalam content marketing, "senjata rahasia"-nya ternyata adalah mendongeng alias storytelling a.k.a bercerita. Kenapa penting?

Dalam sejarah peradaban manusia, bercerita merupakan salah satu alat paling penting. Tidak percaya? Coba lihat semua agama di dunia dan perhatikan alat utama apa yang digunakan dalam menyebarkan ajarannya?

Baca juga: Belajar dari Disney, Kekuatan Storytelling dalam Content Marketing

Celine Da Costa, dalam sebuah artikel di Forbes, pernah mengatakan bahwa jika dilakukan dengan baik, bercerita akan membawa manfaat bagi bisnis. Mulai dari mengubah brand biasa jadi legacy brand, membentuk strategi pemasaran yang mantap, meningkatkan keuntungan, memenangkan kesetiaan dan kepedulian pelanggan, dan banyak lagi.

Oke, di sini mungkin kamu merasa apakah bercerita secanggih itu? Apakah ini “ramuan ajaib” yang bisa menyembuhkan segala penyakit?

Tentu saja tidak. Bercerita adalah satu dari banyak hal. Cerita yang baik tanpa diikuti produk atau layanan yang baik juga menjadi sia-sia, disamping masih banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi bisnis.

Baiklah, sekarang kita coba telusuri beberapa kegunaan storytelling bagi bisnismu.

ilustrasi (Shutterstock)
Cerita sebagai tulang punggung pemasaran

Sebuah cerita dalam bisnis bagaikan tulang punggung yang membuat seluruh upaya pemasaran berdiri tegak, bukan loyo atau hancur berantakan tak jelas bentuknya.

Di bawah satu jalinan cerita yang kuat dan konsisten, semua konten pemasaran yang dihasilkan akan memiliki “tempat” dan tujuan yang tepat. Semua konten mendukung dan/ atau terikat pada jalinan yang sama.

Cerita menjadi cara bisnis menyampaikan nilai dan tujuan perusahaan. Bisnis yang lahir tanpa tujuan alias purpose tidak akan “laku” di mata konsumen jaman now.

Contoh paling mumpuni soal cerita dan bisnis adalah Toms. Perusahaan itu menjual sepatu dibarengi cerita yang sangat kuat tentang pendirinya.

Baca juga: 3 Strategi Agar Storytelling Menjadi Senjata Ampuh dalam Pemasaran

Setelah melihat banyak anak di dunia tidak memiliki sepatu, terutama di negara-negara yang kurang mapan secara ekonomi, pendiri Toms membuat komitmen untuk menyumbangkan sepasang sepatu ke anak-anak tersebut untuk setiap sepatu mereka yang terjual.

Cerita ini menjadi tulang punggung pemasaran Toms di berbagai channel. Cerita ini menghadirkan pesan yang kuat, lebih kuat dibandingkan hal-hal lain yang ditawarkan Toms.

Cerita itu manusiawi

Seperti contoh Toms sebelumnya, cerita dari sebuah bisnis seringkali berawal dari pendirinya. Ini menggarisbawahi poin berikutnya bahwa cerita itu merupakan sesuatu yang manusiawi.

Cerita yang baik membuat pelanggan terhubung dengan bisnis tertentu seakan-akan terhubung dengan manusia.

Lihat saja Steve Jobs, sosoknya tak bisa dilepaskan dari Apple. Meski sudah meninggal, kisah Jobs dan ambisinya untuk melakukan hal-hal besar dan “mengubah dunia” memberi jiwa pada Apple dan produk-produknya.

Contoh lain? Lihat juga Google yang kedua pendirinya mengawali perusahaan itu dengan jargon "Don't be evil" alias tidak akan berbuat jahat/ merugikan. Meskipun kata-kata itu belakangan tak lagi muncul secara resmi, namun kisah upaya duo Sergey Brin dan Larry Page mewujudkan hal itu tak pernah lepas dari citra Google. 

Agak berbeda adalah cerita Mark Zuckerberg yang membangun Facebook. Kisahnya bisa dinikmati dalam sebuah film apik berjudul Social Network. Di balik intrik dan konflik dalam cerita itu, dan segala kontroversinya, penonton dibuat terhubung dengan Zuck. Pada gilirannya ini pun mempengaruhi interaksi mereka dengan Facebook. 

ilustrasi (Shutterstock)
Cerita Membangun Kesetiaan

Lewat cerita, pelanggan mampu terhubung secara emosional dengan produk atau jasa yang digunakannya. Cerita yang baik kemudian akan membantu membangun ikatan emosional yang berujung pada kesetiaan pelanggan.

Hal ini karena, pada saat mengambil keputusan, seseorang sesungguhnya menggunakan bagian emosional dari otaknya dan bukan semata-mata rasional.

Sebuah studi yang dilakukan Antonio Damasio pada 1994 menunjukkan hal tersebut. Damasio meneliti orang-orang yang memiliki kerusakan pada bagian otaknya yang mengatur masalah emosional. Hasilnya, orang-orang tersebut hampir tak bisa mengambil keputusan bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.

Dihadapkan pada pilihan sederhana seperti daging ayam atau kalkun, subyek riset tersebut mengalami kebimbangan akut. Mereka mengaku memiliki semua pertimbangan logis atas pilihan yang ada, namun otaknya tidak mau memutuskan.

Jadilah Pendongeng yang Baik!

Ya, di masa yang riuh dengan konten ini, bercerita adalah salah satu cara untuk menggaet kesetiaan pelanggan. Maka pebisnis pun agaknya perlu menjadi pendongeng.