Perusahaan Startup PHK Besar-besaran, Ada Apa ya?

Oleh: Nur Shinta Dewi
Senin, 30 Mei 2022 | 17:16 WIB

 

Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dari tiga perusahaan startup Indonesia memang cukup mengejutkan. 

Belum lama ini PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja,  Zenius Education,  platform e-commerce JD.ID memberi pernyataan mengejutkan jika perusahaan mereka melakukan PHK terhadap ratusan karyawannya.

Sebelumnya, Perusahaan ecommerce agriculture yang menjual sayuran segar petani Indonesia juga sudah lebih dulu mengabarkan PHK besar-besaran dengan menghentikan semua layanan business to consumers (B2C). 

Manajemen TaniHub mengatakan keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan untuk mempertajam fokus dan meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan segmen B2B yang fokus memasok sayuran ke hotel, restoran, catering dan cafe (Horeca), supermarket, hypermarket, dan pasar swalayan.

Dikutip dari Detik Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan secara umum PHK ini terjadi karena dua sebab, "Pertama mereka ingin melakukan restrukturisasi karena ada skenario bisnis. Yang kedua, memang pencapaian kinerja lagi kurang bagus sehingga mereka melakukan efisiensi."

Sejumlah pihak beranggapan jika PHK tersebut terjadi karena adanya pergeseran di pasar sejak terjadi sejak beberapa bulan lalu. Startup disebut sedang dalam fase bubble burst atau ledakan gelembung startup. 

Baca juga : Sukses Wirausaha! Tips Milenial dan Gen Z Bersaing di Pasar Global

Dikutip dari Investopedia Bubble atau gelembung adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan eskalasi cepat nilai pasar, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti oleh penurunan nilai yang cepat atau kontraksi, yang kadang-kadang disebut sebagai ledakan gelembung atau bubble burst. 

Jika menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, setidaknya terdapat empat penyebab utama perusahaan rintisan ramai-ramai melakukan PHK terhadap karyawannya karena bubble burst. 

Pertama, produk yang kalah bersaing, sehingga kehilangan pangsa pasar atau market share secara signifikan, mengingat saat ini startup terus bermunculan. 

Kedua, perusahaan rintisan dinilai mulai kesulitan mencari pendanaan baru akibat investor lebih selektif memilih perusahaan. "Faktor makro ekonomi secara global penuh ketidakpastian, sehingga investor menghindari pembelian saham startup yang persepsi risikonya tinggi," kata Bhima.

Ketiga, Bhima menilai, pasar mulai jenuh dan sangat sensitif terhadap promo dan diskon, di mana jika aplikasi tidak memberikan diskon maka pengguna akan menurun drastis. 

Terakhir, dengan semakin meredanya penyebaran Covid-19, aktivitas masyarakat kembali pulih, sehingga saat ini transaksi tidak hanya dilakukan secara daring saja.

Baca juga : Tiga Keahlian Wajib Di Masa Depan

Jika menurut Rudiantara Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia, pada umumnya Startup tidak semuanya bisa sukses di awal karir mereka. Ada sekitar 10% startup digital yang tidak bisa melewati tahun pertama, sedangkan 90% lainnya tidak bisa melewati 5 tahun selanjutnya.

Angka 10% yang berhasil melewati 5 tahun itu, sudah dianggap cukup bagus baginya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 5-6 tahun yang lalu, yang angkanya hanya 5%. Itu juga belum ada jaminan kalau startup yang bisa melewati 5 tahun pertama nya bisa menjadi sukses.