Akun Bjorka, sosok yang dikenal sebagai hacker kontroversial, terpantau aktif setelah dikabarkan ditangkap polisi pada Selasa (23/9/2025). Bjorka alias WFT (22) ditangkap di di rumah kekasihnya, MGM, di Desa Totolan, Kecamatan Kakas Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya menyebut WFT adalah pemilik akun X bernama Bjorka atau @bjorkanesiaa versi 2020. Bjorka ditangkap atas dugaan akses ilegal terhadap data nasabah salah satu bank swasta di Indonesia.
Namun pada Sabtu (4/10/2025), akun @Bjorkanism diketahui memosting Instagram Story yang berbunyi:
"yes im still ALIVE and FREE, just take care of your stupid nutrition agency, focus on the issues in your country, dont talk about me, before i reveal that damn data".
Baca juga: Rayakan Kreativitas Lewat Kolaborasi Teknologi dan Seni, Garmin Hadirkan Draw Your Instinct 2.0
Terlepas dari fakta apakah Bjorka betulan sudah tertangkap, dan siapa sosok di balik akun Bjorka yang sesungguhnya, aksi Bjorka membocorkan data sensitif dan melakukan doxing jelas menempatkannya dalam citra peretas yang merusak dan merugikan.
Namun Digifriends, tahukah kamu bahwa tidak semua hacker atau peretas memiliki niat jahat? Di dunia keamanan siber, ada sisi lain yang kontra. Para peretas justru dipekerjakan secara legal dan dibayar mahal untuk melindungi sistem. Mereka adalah para ethical hacker.
Fenomena Bjorka menjadi momen yang tepat untuk memahami bahwa dunia peretasan memiliki dua sisi mata uang. Lalu, apa sebenarnya perbedaan mendasar antara hacker jahat dan baik?
Black Hat Hacker: Sisi Gelap Peretasan
Istilah black hat hacker merujuk pada peretas yang melakukan aktivitas ilegal dan merusak. Mereka adalah sosok yang sering kita lihat di film: membobol sistem tanpa izin dengan niat jahat.
Tujuan utama mereka adalah keuntungan pribadi. Mulai dari mencuri data informasi kartu kredit, data pribadi, sabotase, spionase, hingga keuntungan finansial dengan menjual data curian atau menggunakan ransomware.
Mereka mencari dan mengeksploitasi celah keamanan untuk masuk ke dalam jaringan atau sistem demi kepentingan mereka sendiri. Aksi yang dilakukan Bjorka adalah contoh klasik dari aktivitas black hat.
White Hat Hacker: Para Penjaga Keamanan Siber
Di sisi berlawanan, ada white hat hacker atau yang lebih dikenal sebagai ethical hacker. Mereka adalah para ahli keamanan siber yang menggunakan keahlian meretas mereka untuk tujuan yang baik dan legal.
Mereka membantu perusahaan atau organisasi menemukan titik lemah dalam sistem keamanan mereka, sebelum celah tersebut ditemukan oleh black hat hacker. Mereka bekerja untuk memperkuat pertahanan.
Baca juga: Sekarang, Smartphone Kelas Menengah pun Sudah Pakai Fitur AI
Mereka meretas sistem dengan izin penuh dari pemiliknya. Proses ini disebut penetration testing (uji penetrasi). Setelah menemukan celah keamanan, mereka akan membuat laporan detail dan memberikan rekomendasi perbaikan.
Banyak perusahaan besar bahkan memiliki program "bug bounty", di mana mereka memberikan imbalan bagi siapa saja yang berhasil menemukan celah di sistem mereka.
Abu-abu di Antara Hitam dan Putih: Grey Hat Hacker
Selain dua kutub tersebut, ada juga grey hat hacker. Mereka berada di area abu-abu, karena meretas sebuah sistem tanpa izin (seperti black hat), namun tujuannya untuk memberitahu pemilik sistem atau publik tentang adanya celah keamanan. Meskipun niatnya bisa jadi baik, metode yang mereka gunakan tetap ilegal.
Pada akhirnya, garis pemisah antara ketiga jenis peretas ini terletak pada dua hal yaitu, izin (permission) dan niat (intent). Dunia siber yang kompleks membutuhkan para white hat hacker untuk melindungi kita dari ancaman black hat yang selalu mengintai.
Dunia peretasan membuktikan bahwa sebuah keahlian bisa menjadi pedang bermata dua. Yang membedakan seorang pahlawan digital dari seorang penjahat siber bukanlah kemampuannya, melainkan niat dan etika di balik setiap baris kode yang mereka tulis.