IFSOC Dorong Kolaborasi Fintech P2P Lending dan Bank untuk Pendanaan Produktif UMKM

Oleh: Nur Shinta Dewi
Kamis, 22 April 2021 | 16:02 WIB

 

Peran pemerintah dalam menjadikan UMKM sebagai salah satu sektor prioritas dalam strategi kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi sangat krusial.

Data BPS, 2018 menunjukan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki kontribusi dan peran yang besar bagi perekonomian Indonesia, dengan menyumbang 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 97% dari total tenaga kerja.

Sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pemerintah dan regulator yang terus mendorong peningkatan penyaluran kredit UMKM oleh perbankan dan Fintech.

Hal ini  tercermin dalam data OJK yang mencatat penyaluran pinjaman melalui fintech pendanaan (P2P) tahun 2020 mencapai Rp74,41 triliun, naik 26,47% dibandingkan periode yang sama sebelumnya.

Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, mengapresiasi potensi Fintech P2P lending untuk kemajuan UMKM.

Dia mengungkap potensi P2P lending dapat lebih besar dengan mengoptimalkan peran P2P lending di UMKM, seperti memanfaatkan data transaksi UMKM yang tercatat melalui QRIS sumber informasi penting untuk alternative credit scoring di mana saat ini terdapat sekitar 6 juta merchant QRIS yang mayoritas adalah UMKM.

“Kuncinya adalah sinergi holistik dengan seluruh pemangku kepentingan guna memperkecil hambatan akses kredit produktif kepada UMKM. Namun kami mencatat P2P lending juga harus meningkatkan kehati-hatian dengan memiliki sistem manajemen risiko dan compliance yang baik, serta mengutamakan perlindungan konsumen dan dana investor.” Kata Mirza.

Baca juga : IDA Resmi Memilih Similarweb Sebagai Standar Pengukuran Audiens Online di  Indonesia

Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Dr. Hendri Saparini mengatakan data AFPI menunjukkan terdapat 46,6 juta pelaku UMKM yang belum mendapatkan akses pembiayaan perbankan karena terbatasnya jangkauan pendanaan dari Bank maupun P2P lending.

Untuk mengatasi hal tersebut, IFSoc mendorong fintech P2P lending berkolaborasi dengan bank sehingga memperluas jangkauan pendanaan produktif dengan limit dan tenor yang sesuai profil risiko.

Melalui channeling dengan bank, regulator dapat mempertimbangkan agar P2P lending yang memenuhi syarat prudential dapat menyalurkan pendanaan lebih dari Rp2 miliar.

IFSoc juga menemukan UMKM seringkali menghadapi masalah tidak mempunyai jaminan (collateral) yang dapat diserahkan kepada Bank dan memiliki credit score rendah dalam pengajuan pendanaan UMKM.

Untuk itu, IFSoc mendorong Bank dan Fintech untuk kolaborasi dengan sistem digital seperti e-commerce, ride-hailing, dan lainnya untuk memanfaatkan jejak digital sebagai alat ukur kelayakan pendanaan.

IFSoc juga mendorong pembentukan pembentukan kelompok usaha (korporatisasi) UMKM agar memberikan daya saing yang tinggi dan risiko bisnis yang lebih rendah, dan linkage antara UMKM dengan industri besar sebagai upaya UMKM untuk masuk dalam rantai nilai secara nasional sehingga meningkatkan kelayakan mendapatkan pendanaan produktif.

Menurut Hendri, pemerintah dapat memprioritaskan UMKM dalam konsep government to business (G2B), dengan mendorong kolaborasi pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), UMKM dan P2P Lending untuk menyerap produk UMKM khususnya di tengah pandemi seperti saat ini, sehingga dapat menciptakan permintaan yang berkelanjutan kepada UMKM.

Oleh karena itu, perlu mengikutsertakan P2P lending dalam program penjaminan pemerintah di saat seperti ini.

Baca juga : Tokopedia Bawa Nama Harum Indonesia pada Deloitte Technology Fast 500™ Asia Pacific 2020

Steering Committee IFSoc, Dr. Prasetyantoko, mencatat saat ini setidaknya ada 10 Kementerian dan Lembaga yang memiliki kebijakan dan program masing-masing terkait UMKM, mulai dari pembiayaan Ultra Mikro (UMi) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga promosi UMKM seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).

Terakhir, banyaknya Kementerian dan Lembaga yang memiliki kebijakan dan program terkait UMKM menyebabkan Database UMKM belum tersentralisasi dan masih tersebar di beberapa kementerian/lembaga hingga sektor swasta seperti platform e-commerce.

Oleh karena itu terdapat perbedaan data, dimana pemerintah mencatat jumlah UMKM saat ini mencapai 64 juta UMKM, namun berdasarkan data agregat yang dikumpulkan IFSoc terdapat lebih dari 85 juta UMKM yang beroperasi di Indonesia.

Menjawab tantangan tersebut, IFSoc mendukung sinkronisasi data UMKM oleh pemerintah, dengan menunjuk satu kementerian/lembaga untuk mengkoordinasikan menjadi big data dengan mengedepankan sharing principle dan tetap menjamin keamanan data sesuai peraturan perundangan.

“Untuk mendukung pengelolaan data tersebut, pemerintah perlu membuat standarisasi pengumpulan data dan peningkatan sumber daya anggaran dan manusia. Dengan peningkatan kapasitas maka pengumpulan, pengelolaan data serta evaluasi kebijakan dapat dilakukan secara berkesinambungan, dengan mempertimbangkan kondisi pasar serta perkembangan kebutuhan informasi,” ujarnya.