Ekonomi Digital Indonesia, Dari Market Place ke Services

Oleh: Rommy Rustami
Senin, 17 Februari 2020 | 17:24 WIB

Pada kuartal terakhir tahun lalu, Google bekerja sama dengan Temasek dan Bain & Company merilis kajian tahunan ekonomi digital di Asia Tenggara: e-Conomy SEA 2019, Swipe up and to the right: Southeast Asia's $100 billion Internet economy.

Laporan itu membawa angin segar buat Indonesia: potensi ekonomi digital Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, paling tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.

Melalui kajian tersebut, Google memperkirakan total nilai perekonomian digital di Indonesia pada 2019 telah mencapai US$ 40 miliar. Angka ini meningkat empat kali lipat jika dibandingkan pada 2015; dan diperkirakan akan mencapai US$130 miliar pada 2025. Rata-rata pertumbuhan ekonomi digital Indonesia mencapai 49% per tahun; bandingkan dengan Singapura yang hanya 17% per tahun atau Malaysia yang hanya 21% per tahun.

Pertumbuhan yang cukup signifikan tersebut, menurut Google, dipicu oleh sektor layanan e-commerce dan ride-hailing, yang akhirnya menjadi pemicu pertumbuhan sektor-sektor lainnya.

Country Manager Aruba Indonesia, Robert Suryakusuma memperkirakan sektor ekonomi digital yang akan menjadi tren hingga beberapa tahun kedepan adalah yang berhubungan dengan services. Dia menjelaskan saat ini salah satu services yang cukup diminati oleh masyarkat adalah layanan market place dimana masyarakat bisa bertransaksi di beragam platform yang cukup populer seperti Tokopedia, BukaLapak dan yang lainnya.

"Saya lihat di tahun 2025 akan lebih ke arah services, misalnya sekarang yang lagi naik daun salah satunya adalah Ruang Guru. Ada anak sekolah, dia cari guru privat dan yang lainnya untuk PR dan tugas sekolah bisa masuk ke Ruang Guru, cari guru berdasarkan feedback, dari orang lain yang sudah pernah sebelumnya, pilih bintang lima misalnya."

Kajian Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan akan ada 4 sektor usaha yang akan meraup potensi lebih banyak jika dibandingkan sektor ekonomi digital lainnya pada 2025; keempat sektor itu adalah e-commerce, ride hailing, online media dan online travel.

Namun disisi lain, kajian tersebut juga menampilkan ketimpangan ekonomi digital antara daerah perkotaan dan perdesaan. Meskipun angka populasi negara-negara ASEAN di kawasan perkotaan hanya sekitar 15% dari total populasi, namun masyarakat di perkotaan memberikan kontribusi sebesar 52% dari total nilai perekonomian digital pada 2019. Kajian itu juga menggaris bawahi bahwa perbedaan tersebut bisa lima kali lipat di Indonesia, Filipina, dan Vietnam ditengah kesenjangan standar kehidupan dan infrastruktur.

Untuk itulah, Robert menekankan bahwa nfrastruktur dan human resources memegang peranan penting agar Indonesia bisa mengoptimalkan pencapaian perekonomian digital pada 2025 nanti. Hal ini, jelasnya, harus menjadi fokus pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya seperti para pelaku industri digital.

"Mereka, para pelaku industri digital, juga harus mempersiapkan dan mempunyai sistim yang mendukung. Pemerintah sudah menyediakan infrastruktur, sekarang dari sisi pengusaha harus mempunyai perangkat atau sistim yang mendukung apa yang telah disiapkan oleh pemerintah."