Kopi, Koin dan Kriptografi

Oleh: Anggoro Eko Cahyo
Jumat, 16 Maret 2018 | 03:41 WIB
Pernahkah Anda minum kopi dengan nama Sigarar Utang? Konon, kopi dari Tapanuli Utara ini kalau diterjemahkan berarti “pelunas hutang” atau “pembayar hutang”

Pernahkah Anda minum kopi dengan nama Sigarar Utang? Konon, kopi dari Tapanuli Utara ini kalau diterjemahkan berarti “pelunas hutang” atau “pembayar hutang”. Nama itu seakan mengisyaratkan bahwa kopi bisa digunakan sebagai alat pembayaran untuk melunasi hutang.

Pada masa lalu, di benua Afrika, kopi juga diyakini sempat jadi alat pembayaran. Penggunaan biji kopi alias Kawa sebagai mata uang bahkan menyebar sampai ke Timur Tengah.

Saat ini, memang kopi bukan lagi alat pembayaran yang sah. Tapi, menarik juga kalau kita melihat kopi sebagai sebuah indikator global. Hal ini yang secara menyenangkan dilakukan The Wall Street Journal lewat The Latte Index.

Indeks tersebut berusaha menggambarkan perbedaan daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) di berbagai negara dengan cara membandingkan harga secangkir Latte di berbagai kota besar di dunia.

Kurang lebih didapatkan sebuah gambaran, yang mungkin tidak super-akurat, tapi cukup jitu untuk melihat bagaimana sebuah mata uang dinilai.

Lewat The Latte Index itu, Wall Street Journal melacak harga satu cangkir latte (Starbucks, ukuran Tall) di berbagai kota dan dibandingkan terhadap harga minuman yang sama di kota New York. Harga Latte di Jakarta, misalnya, ada di angka 3,55 dollar AS sedikit di atas harga di New York (3,45 dollar AS).

Itu bisa saja diartikan bahwa valuasi Rupiah terhadap Dollar AS cukup tepat, hanya overvalue sekitar 3 persen. Bandingkan dengan Singapura, harga kopi yang sama ada di angka 4,24 dollar AS (overvalue 23 persen).

Baca Juga:
Wujudkan Digital Energy of Asia, Melalui Digital Banking

Tentu saja, ini adalah indeks yang tujuan dibuatnya lebih banyak untuk seru-seruan daripada untuk pembandingan ilmiah. Tak bisa dianggap sebagai patokan resmi, tapi cukup juga untuk jadi pengingat bahwa kopi adalah fenomena global.  

Dalam hal ini, kita kembali lagi ke kopi Indonesia. Kerap didengungkan bahwa kopi dari Indonesia adalah yang terenak di dunia. Bahkan di Amerika Serikat, secangkir kopi masih sering disebut sebagai a cup of Joe, dengan kata Joe di situ merujuk pada Java alias biji kopi impor dari Jawa.

Sejarah kopi di Indonesia mungkin diawali dengan lembaran gelap, tak bisa dipungkiri kopi adalah salah satu hasil tanam paksa di era penjajahan. Tapi sekarang Indonesia bisa membalikkan keadaan itu, dari lembaran gelap kita ubah jadi cerita yang menyenangkan. Dengan daya juang dan keuletan bangsa inilah kita mengangkat kopi Indonesia sebagai kebanggaan.

Di sini saya mengamati sebuah paralel. Di dunia teknologi digital, Indonesia belum banyak berkiprah. Sebagai salah satu bangsa pengguna Facebook dan Google terbesar di dunia, teknologi digital ini boleh dibilang “dipaksakan” untuk kita.

Ya, kita memakai dan memanfaatkan semua layanan itu dengan sukarela. Tapi di sisi lain kita juga “terpaksa” karena alternatifnya hampir tidak ada. Atau setidaknya, belum ada yang sekaliber itu.

Tapi belajar dari kopi tadi, bangsa ini juga harusnya mampu membalikkan keadaan. Dari pengguna, kita bisa bergerak menjadi penghasil. Talenta yang luar biasa sedang berkembang di Indonesia, dari kota-kota seperti Depok, Bandung, Malang atau Jogja, para developer Indonesia bergerak untuk jadi yang terdepan di dunia.

Pemanfaatan teknologi pun sudah merambah dunia pembayaran. Hampir semua bank di Indonesia rasanya saat ini sudah menawarkan uang elektronik yang bisa digunakan untuk membayar tol atau transportasi umum tertentu.

BNI pun belum lama ini sudah mengenalkan Yap. Pembayaran berbasis aplikasi ini menggunakan sistem QR Code untuk memudahkan pengguna saat bertransaksi.

Baca juga:
Menunaikan Janji Teknologi Digital untuk Menyentuh Semua Orang

Selain dari upaya uang elektronik dan sistem pembayaran berbasis aplikasi, kita juga melihat mulai diliriknya penggunaan teknologi kriptografi dalam mata uang.  Tentu saja yang dimaksud adalah cryptocurrency.

Ya, cryptocurrency adalah subyek yang sensitif. Tapi menurut saya kita harus berani memulai percakapannya. Melihat hal itu lebih dari sekadar melihat Bitcoin atau Ethereum yang naik turun bagai wahana roller coaster, tapi menilik teknologi di belakangnya.

Terlepas dari soal kontroversinya, apa yang dilakukan penemu Bitcoin Satoshi Nakamoto bisa dijelaskan dengan sederhana sebagai sebuah sistem pembukuan yang tidak memiliki otoritas terpusat, sehingga setiap perubahan hanya bisa dilakukan jika semua orang menyepakatinya.

Apa yang dilakukan Satoshi itu memecahkan masalah uang digital sebelumnya, yang terkesan lambat dan rentan pada aksi-aksi kurang sedap. Dengan mendistribusikan otoritas pembukuan, dan menerapkan kriptografi untuk pengamanannya, Satoshi melahirkan sistem keuangan yang relatif aman.

Pemanfaatan kriptografi dan blockchain dalam mengamankan transaksi itu, misalnya, patut dijadikan bahan utak-atik anak-anak muda Indonesia. Bukan sekadar untuk menambang atau membeli Bitcoin, tapi melihat lebih jauh ke teknologi yang memungkinkan semua itu terjadi.

Jelas, ini bukan berarti saya mendukung Bitcoin dan yang lainnya untuk digunakan secara resmi tanpa tedeng aling-aling. Regulasi yang tegas diperlukan untuk memastikan hak semua warga negara terlindungi. Institusi yang sudah lebih mapan bisa membantu upaya-upaya di bidang itu agar tetap dalam koridor yang aman dan nyaman.

Saya sekadar mengajak kita untuk sama-sama berpikir dengan jernih dan tidak tergesa-gesa. Apakah situasi ini bisa kita manfaatkan untuk keunggulan bangsa?

Dulu, bangsa ini mungkin dipaksa menanam kopi. Tapi sekarang kita bisa mengubah itu jadi keunggulan. Sekarang kita “dipaksa” (oleh keadaan) memakai teknologi digital, dan kita dalam perjalanan mengubah itu jadi keunggulan juga. Apa kita harus menunggu “dipaksa” terus, atau kita bisa mulai mengubahnya jadi keunggulan dari sekarang?