
Perubahan Lintas Generasi
Mereka adalah kelompok anak muda yang ingin “dianggap eksis”. Mereka tidak ingin dianggap hanya sekedar pelengkap dari segala sesuatu yang selama ini harus ditentukan oleh orangtua.
Minggu, 30 September 2018 | 08:45 WIB
Mike Walsh, pembicara megatrend dalam satu seminar di Liverpool, yang kebetulan saya ikuti, menceritakan anomali orang Indonesia di dunia digital.
Salah satunya adalah 80 persen pengguna Facebook di Indonesia sebelumnya tidak mengenal atau belum pernah menggunakan email.
Itu sama dengan lompatan budaya membaca ke budaya televisi yang juga dialami orang Indonesia. Budaya membaca mengedepankan faktor dialektika. Orang tak cukup membaca satu sumber. Ia harus membaca semua sumber. Sebab mereka paham tak ada monopoli kebenaran.
Belum mapan di budaya baca, kita lompat ke budaya televisi. Akhirnya lahirlah generasi "instan". Televisi mengajarkan "hasil" bukan "proses". Itulah yang suka atau tidak suka kita tiru sekarang.
Lalu kita masuk budaya internet. Dipahami atau tidak, semua orang lalu tergulung ke digital wave. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan ada 132,7 juta orang Indonesia yang telah terhubung ke internet pada 2016. Dikutip dari Kompas.com, angka pengguna aktif bulanan Facebook mencapai angka 88 juta di Indonesia pada kuartal kedua 2016.
Dengan literasi media dan internet yang tak cukup baik, terjadilah perubahan cara mengkonsumsi media dan perubahan perilaku media itu sendiri. Media konvensional yang dulu jadi sumber utama informasi lalu berubah menjadi follower isu yang digemakan media sosial. Media sosial sendiri berjalan dan berkembang tanpa saringan apalagi bercerita soal etika.
Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia. Washington Post melaporkan perang sosial media berupa hoax terburuk justru terjadi pada era pilpres Trumph versus Ny. Clinton. Gerakan anti PM Najib di Malaysia bersuara pada medium medium sosial media. Literasi media soal konsep "realitas media" hanya pelajaran di kampus dan tak cukup berguna di era media digital saat ini.
Kampanye internet sehat kalah gaung dengan keasyikan jari jemari melakukan share terhadap berita-berita yang tingkat akurasinya tak meyakinkan. Masyarakat menerima tsunami informasi (information overload). Jika tak pandai menitih buih, memang alamat menyesakkan dan menyesatkan.
Susahnya ketika arus balik mencari kebenaran informasi itu terjadi, menu informasi arus utama juga tak berpihak kepada konsumen media konvesional. Kooptasi media oleh dua kekuatan yakni ekonomi dan politik juga membuat konsumen media alergi pada sumber berita arus utama. Tak ada media mainstream yang benar benar steril saat ini.
Saya pribadi sendiri akhirnya kembali ke teori komunikasi kuno: tatap muka. Bentengnya ada di keluarga.
Lisan dan laku baik adalah benda yang mahal saat ini. Saya nggak mau melalui medsos anak anak kita belajar membenci. Sekarang benci itu sudah menjadi industri kreatif. Ada yang berkreasi di situ.
Tawuran, konflik sosial, terorisme, dan perang, dimulai dari penanaman ideologi kebencian. Teroris pemula tak diajarkan membuat bom, dia diajarkan membenci. Sosmed pada kondisi kegaduhan politik di mana pun menjadi battle field. Bibit kebencian disemai dan kita tinggal menuai badai. Destruktif dan masif sekali dampaknya.
Kembali ke Mike Walsh, berarti masih ada 20 persen orang yang menggunakan Facebook secara bijak. Masih ada harapan. Dari pada mengutuk gelap baiklah kita menyalakan lilin. Mari kita jaga benteng terakhir kita, keluarga!
Mereka adalah kelompok anak muda yang ingin “dianggap eksis”. Mereka tidak ingin dianggap hanya sekedar pelengkap dari segala sesuatu yang selama ini harus ditentukan oleh orangtua.
Minggu, 30 September 2018 | 08:45 WIBPerusahaan bisa saja goyah. Bukan terutama karena diganggu pesaing, melainkan karena kesalahan sendiri.
Minggu, 16 September 2018 | 15:25 WIBTeknologi benar-benar telah memorakporandakan kata "rahasia perusahaan". Apalagi ada banyak karyawan yang suka menceritakan gosip di dalam perusahaan, walaupun kalimatnya selalu dimulai dengan: "Jangan bilang-bilang...!"
Minggu, 9 September 2018 | 10:25 WIBBagaimana industri makanan dan minuman bisa menghadapi masa depan dan perubahan yang akan datang?
Rabu, 29 Agustus 2018 | 16:10 WIBKadang Command Center hanya jadi tempat foto bersama kunjungan tamu. Saat ada tamu dihidupkan, setelah tamu pulang mati lagi.
Senin, 20 Agustus 2018 | 11:50 WIBPernahkah Anda minum kopi dengan nama Sigarar Utang? Konon, kopi dari Tapanuli Utara ini kalau diterjemahkan berarti “pelunas hutang” atau “pembayar hutang”
Jumat, 16 Maret 2018 | 03:41 WIBPerhatikan apakah dalam 1 minggu, anak Anda masih duduk manis di depan TV menyaksikan acara kesayangannya? Kalau masih, berapa jam per minggu ia duduk di depan TV? Atau malah dalam seminggu sama sekali mereka tidak menonton televisi
Jumat, 25 Agustus 2017 | 02:08 WIBMike Walsh, pembicara megatrend dalam satu seminar di Liverpool, yang kebetulan saya ikuti, menceritakan anomali orang Indonesia di dunia digital
Kamis, 24 Agustus 2017 | 02:09 WIBBACKGROUND I am experiencing a déjà vu moment
Rabu, 23 Agustus 2017 | 04:53 WIBSeorang teman penggiat Digital Terrestrial TV (DTT) di Indonesia menelpon saya dari seberang sana untuk mengkonfirmasi satu hal “DTT dengan single mux Malaysia katanya gagal”
Selasa, 22 Agustus 2017 | 11:33 WIBSmart City atau Kota Cerdas yang ramai dibicarakan, masih banyak menyisakan banyak pemahaman apalagi implementasinya
Selasa, 22 Agustus 2017 | 02:24 WIBKalau sering bolak balik melihat kanal tv sekarang, Anda pasti disajikan beberapa statiun tv baru dari layar televisi Anda
Selasa, 22 Agustus 2017 | 02:12 WIBBACKGROUND Six years ago, I returned to Indonesia after living and working in the U
Senin, 21 Agustus 2017 | 07:18 WIBSejak awal 2016, Presiden Jokowi sudah menyerukan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia
Jumat, 18 Agustus 2017 | 04:27 WIBJanji teknologi digital adalah menjangkau semua orang, di mana saja, kapan saja
Jumat, 18 Agustus 2017 | 03:53 WIB