LogoDIGINATION LOGO

Siaran TV Digital, Lalu Apa?

author Oleh Apni Jaya Putra Selasa, 22 Agustus 2017 | 02:12 WIB
Share
Kalau sering bolak balik melihat kanal tv sekarang, Anda pasti disajikan beberapa statiun tv baru dari layar televisi Anda
Share

Kalau sering bolak balik melihat kanal tv sekarang, Anda pasti disajikan beberapa statiun tv baru dari layar televisi Anda. Iya betul, mereka ini station televisi yang oleh pemerintah diizinkan untuk melakukan ujicoba siaran digital. Tidak semua ikut, tapi sebagian memanfaatkan momen ini untuk mengenalkan stasiun tv baru mereka. Siaran ujicoba juga dimanfaatkan oleh beberapa statiun tv lama untuk memancar luaskan konten siaran digital mereka.

Seperti diketahui, para pemilik statiun tv baru sebagian juga pemilik penyelenggara multiplexing (mux) siaran digital. Mereka sudah memenangkan lelang beberapa zona atau wilayah siaran digital. Sebagai penyelenggara mux, selain membawa siaran dari statiun mereka sendiri, ada kewajiban bahwa mereka harus membawa stasiun stasiun yang bukan penyelenggara mux ke system multiplexing mereka. Tentu dengan membayar kepada penyelenggara mux sebagai kompensasi investasi.

Ini berbeda dengan Malaysia. Di Malaysia penyelengara mux tv digital adalah bukan penyelenggara siaran yang dikenal selama ini. TV3, RTM, Bernama TV dan statiun televisi lain harus masuk ke konsorsium MyTV (penyelenggara mux siaran digital teresterial) di Malaysia.

Saya tak hendak membahas soal regulasi penyelengaraan siaran digital di Indonesia. Selain sarat kepentingan. Sampai sekarang juga tidak jelas arah regulasi dan pilihan teknologi nya.

Yang menarik buat saya sekarang adalah, pemahaman pengelola stasiun baru itu pada hakekat digital sendiri. Dalam sebuah diskusi di forum asosiasi penyelenggara siaran digital saya mengatakan bahwa jangan-jangan kita masih berpikir analog ketika kita memasuki era digital.

Hal yang sederhana saja adalah pada pilihan teknologi. Disain teknologi statiun televisi di Indonesia masih berbasis perangkat keras, bukan berbasis pada perangkat lunak  (IT Base).  Apa yang terjadi, desain teknologi masih mengelompok dalam beberapa cluster. Satu system ke satu system masih berdiri sendiri dan tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Padahal kata kunci dari system digital adalah “integrasi”.

Stasiun tv ini “dipaksa” oleh para penjual perangkat keras untuk menggunakan work flow mereka. Penjual perangkat keras tidak menjual solusi. Akibatnya stasiun tv mengeluarkan angka investasi yang lebih besar tapi solusi menghadapi perubahan dunia digital tidak pernah ada. Seharusnya para pemilik atau pengurus statiun tv membuat disain berdasarkan work flow mereka sendiri dengan menghitung ke arah mana kelak dunia digital akan bergerak.

Adalah kesalahan ketika memasuki era digital ini broadcast cost masih mahal. Work flow yang benar, system perangkat lunak yang benar dengan bantuan perangkat keras yang comply satu dengan lainnya, mestinya bisa mengurangi banyak broadcast cost, sehingga statiun tv dalam jangka panjang akan banyak menghemat biaya operasional dan efisien. Ini di ranah pemilik statiun televisi.

Di ranah pemerintah, apakah kajian pilihan digital teresterial ini sudah paling benar untuk Indonesia? Jaringan darat atau teresterial adalah warisan disain statiun tv di zaman Soeharto (baca TVRI), yang kemudian di copy cut oleh stasiun tv swasta hingga saat ini. Pemeliharaan jaringan darat dikenal mahal. Sebab ada dua kombinasi teknologi di situ, untuk mengantarkan siaran,  stasiun tv harus menyewa transponder satelit untuk mengantarkan ke pemancar-pemancar relay di beberapa zona, lalu pemancar teresterial ini lah yang mengantarkan siaran ke rumah-rumah pemirsa. Kita setuju migrasi ke digital, tapi apakah terresterial adalah satu satunya pilihan migrasi ke digital?

Kerjasama Konten

Ketika melihat konten peserta uji coba siaran digital saya hanya berkomentar singkat, “Berapa lama mereka akan bertahan”. Pesimis. Iya karena ongkos produksi konten televisi mahal sekali, jika tidak dilakukan dengan managemen produksi yang benar. Ongkos konten akan memakan 40 sampai 50 persen dari biaya operasional statiun tv.

Statiun tv di Indonesia menyelenggarakan dua operasional sekeligus, yakni sebagai penyelenggara siaran, juga sebagai penyelenggara konten. Di banyak negara maju, kedua pekerjaan ini sudah dipisah melalui undang-undang. Konten harusnya milik content creator. Artinya kesempatan pihak ketiga melalui program commissioning haruslah dibuka lebar. Di statiun tv mereka tak usah repot menyiapkan semua perangkat produksi dari hulu ke hilir. Mereka hanya memerlukan production designer saja.  Anda bayangkan, sudah harus membayar ongkos mux kelak kepada penyelenggara multiplexing, mereka masih diberatkan dengan urusan ongkos produksi konten yang tak manageable lagi.

Statiun tv digital, tak usah malu mulai menyiapkan konten dengan konsep sindikasi produksi. Ini sebenarnya sama dengan prinsip economy sharing yang sedang jadi trend sekarang. Satu program premium televise, pendanaannya dilakukan secara bersama oleh anggota asosiasi. Juga dijual bersama-sama. Ongkos produksi ditanggung bersama, sales nya pun didapat sama-sama.

Ini terjadi di Amerika, istilah “network syndication” di Amerika lebih mengacu pada konsep pre selling program-program yang ditanggung dan dijual bersama. Nilai investasi siapa yang terbesar lah yang akan menikmati “first run” tayangan atau tayang perdana. Sisanya akan menikmati “off net” atau rerun dari program yang dibuat secara sindikasi produksi ini.

Terakhir, afiliasi. Kenapa mesti banyak statiun tv tapi seragam dalam konten. Pilihan ke arah statiun tv digital sebenarnya tujuannya adalah pada segmentasi penonton yang bermuara pada keragaman kanal dan isi siaran yang kita saksikan. Penambahan spectrum frekuensi pada siaran digital harus memberi banyak keragaman informasi yang diterima khalayak. Jika memiliki kesamaan konsep berafiliasilah!  Yang perlu dipahami teresterial digital hanya satu platform saja dari dunia digital yang tanpa batas. Perkembangan ke arah platform OTT (over the top) di layer distribusi juga akan membuat apakah spectrum frekuensi masih relevan atau tidak kelak. Jangan jadikan terresterial digital ini sebagai target bisnis satu satunya.  

Perilaku konsumen media sudah berubah, televisi bukan satu satunya lagi platform di ranah audia visual. Ingat jumlah penonton YouTube sudah melebihi jumlah penonton tv di primetime. Perilaku pengiklan pun sudah berubah. Media-media digital non terresterial menawarkan lebih banyak pilihan cara beriklan yang lebih atraktif dan mengena. Perilaku pengelola media pun harus berubah.

Uji coba siaran digital ini menurut saya sekadar pelepas dahaga di tengah ketidakjelasan regulasi dan arah siaran televise digital ini dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Jadi jangan senang dulu.

  • Editor: Edi Taslim
LATEST ARTICLE